Sabtu, 26 April 2008

CINTA LELAKI BIASA by ASMA NADIA


Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!
Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
---
Penulis cerpen ini memiliki situs pribadi @ http://anadia.multiply.com

Kamis, 24 April 2008

PUDARNYA PESONA CLEOPATRA by HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY


Pada dasarnya, seorang laki-laki berkecenderungan untuk memilih wanita yang cantik. Sedangkan wanita, berkencenderungan untuk memilih laki-laki yang berharta. Maka, kalau seseorang punya anak laki-laki atau saudara laki-laki, mau menikah, maka pertanyaan yang sering muncul adalah “Calon istrimu cantik atau tidak” dan jarang ada pertanyaan “Calon istrimu kerjanya dimana”.


Begitu juga sebaliknya, kalau seseorang punya anak perempuan atau saudara perempuan mau menikah, maka pertanyaan yang sering muncul adalah “Calon suamimu kerjanya dimana” dan jarang ada pertanyaan “Calon suamimu ganteng atau tidak”.

Kalau kita mau jujur, sebagai seorang laki-laki, ingin menikah, juga berkecenderungan mencari wanita yang cantik. Begitu juga sebaliknya, kalau kita sebagai wanita, berkecenderungan mencari laki-laki yang berharta. Minimal, laki-laki itu sudah berpenghasilan yang diharapkan bisa menghidupi keluarga. Gambaran pelajaran dari Novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” yaitu Novel Psikologi Pembangun jiwa, karangan Habiburrahman El Shirazy, Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta, semoga bisa jadi renungan bagi kita bersama.

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.”Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.

Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah.

Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan hiburan group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.

Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ”tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga”.

Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “ kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman.

Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe”. Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. “Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.”Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkanaku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.

“Mbak! Eh maaf, maksudku… Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!”sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Terima kasih dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.

Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri didunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan ibundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia.

Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku dimata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.

Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, “Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, nomor pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku nggak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ”Dengan orang mana?. “Orang Jawa”. “Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. “Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. “Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini”.

Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada denganYasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun, tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.

Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.

Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku,tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.

Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran.

Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan.

YaRabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu.

Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya?

Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya.

Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya.

Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu.

Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luarbiasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku.

Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihana tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan airmataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap airmataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telahterjadi.” Raihana istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya”. “Ada apa dengan dia”. “Dia telah tiada”. “Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untukmenjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada.

Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami”. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

Inilah hidup, kadang-kadang kita menginginkan sesuatu, tapi tidak baik menurut Allah swt, dan kadang-kadang kita tidak menginginkan sesuatu, tapi baik menurut Allah swt. Jadi hidup ini adalah biarlah Tuhan yang merencanakan kehidupan kita, sebab Tuhan lebih tahu dari kita. Tugas kita adalah berusaha yang terbaik, dan selalu menerima keyakinan dengan lapang dada, kalau pilihan Tuhan, pasti terbaik.

Berani hadapi tantangan untuk selalu berlapang dada dengan pilihan terbaik sang Pencipta atau kita selalu sempit dada sampai ajal tiba!!!. Bagaimana pendapat Anda???

--Dikutip dari blognya masrukhul amri : amri.web.id--

Rabu, 02 April 2008

CALON MENANTU by IRWAN KELANA


'Ass, Kak. Aku baru nyampe rumah.''


Tak sabar Yayah mengirimkan SMS itu begitu tiba kembali di Tanah Air. Empat tahun lamanya ia menuntut ilmu di Al-Azhar University, Cairo. Tiga tahun di antaranya dilaluinya dengan menyimpan kenangan dan rindu kepada Qodari. Ya, lelaki asli Madura itu telah merebut hatinya sejak saat pertama menyambut kedatangannya di pagi buta, di Bandara Internasional Cairo. Bersama sejumlah senior lainnya, Qodari menjemput rombongan mahasiswa baru Al-Azhar University asal Indonesia yang merupakan peserta program beasiswa kerja sama Indonesia-Mesir.

Yayah segera saja menjadi bintang mahasiswa Al-Azhar angkatan tahun tersebut. Posturnya tinggi, dengan hidung bangir, bibir merah delima asli tanpa pulasan lipstik, dan kulit seputih kapas. Busana apa pun yang dikenakan gadis berdarah Sunda itu hanya membuatnya makin kelihatan cantik dan mempesona. Banyak kakak kelasnya yang berupaya menampakkan perhatiannya. Terutama mahasiswa tahun keempat yang sudah hampir lulus S-1 maupun mereka yang sedang menempuh jenjang pendidikan Pasca Sarjana.

Hanya Qodari yang sama sekali tak pernah memberikan sinyal khusus kepadanya. Meskipun ia tak pernah menolak jika Yayah memerlukan bantuannya. Terkadang Yayah ingin bertanya kepada kakak kelasnya, apakah Qodari sudah mempunyai calon istri. Namun ia merasa malu sendiri. Baru datang ke Mesir kok udah bicara cinta? Setahun kemudian, Qodari lulus S-1. Ia akan pulang ke Indonesia sebentar, lalu melanjutkan pendidikan S-2 di Pakistan.

Yayah dan sejumlah teman mengantarnya ke bandara. Ada yang terasa hilang di jiwanya saat sosok lelaki yang selama ini kerap mengisi relung batinnya itu menghilang dari pandangan sesaat setelah melewati imigrasi. Negeri Mesir yang indah kini terasa begitu hampa. Ketika mobil yang ditumpanginya perlahan meninggalkan bandara, matanya menatap jauh ke landasan, ke deretan burung-burung besi yang dengan angkuhnya bertengger di sana. Kalau saja ia punya sayap, ingin rasanya ia terbang dan hinggap di pesawat yang akan mengantar Qodari pulang ke Indonesia.

Betapa kejamnya Kak Qodari. Ia pergi tanpa pernah memberikan tanda apa pun kepadanya. Apakah ia begitu keras hatinya, sehingga tak mampu menangkap sinyal perasaan yang dikirimkan oleh seorang gadis -- meski itu hanya berupa wajah memerah dan sikap canggung manakala tanpa sengaja berpapasan di perpustakaan kampus, Masjid Al-Azhar, dan Wisma Nusantara yang merupakan pusat aktivitas mahasiswa Indonesia di Mesir. Padahal, lulusan terbaik Al-Azhar University dengan predikat Mumtaz itu dikenal selalu ramah dan simpatik kepada siapa pun.

Diam-diam ia pun menyesali dirinya. Kenapa ia tak berterus terang saja, atau setidaknya mengirimkan sinyal yang lebih jelas, misalnya berupa SMS yang berisi sindiran tentang cinta. Atau, mengapa ia tidak menitipkan salam lewat salah seorang kakak kelasnya yang sama-sama aktif di PPMI bersama Qodari?

''Yayah, kamu sakit?'' tanya Aisyah, melihat wajah Yayah yang agak pucat. Buru-buru Yayah menggeleng. ''Ah, tidak. Hanya kurang tidur saja,'' kilahnya. Sesaat sebelum pesawat Singapore Airlines yang akan membawanya dari Cairo ke Jakarta bersiap-siap untuk lepas landas, Qodari mengirimkan SMS: ''Bila kamu mau menjadi istriku, aku akan menunggumu.'' Membaca SMS tersebut Yayah rasanya ingin berteriak dan melompat dari mobil. Namun ia berusaha menahan perasaannya sewajar mungkin.

''Welcome home. Jadi, kapan aku boleh datang melamarmu? Wss.'' Balasan dari Qodari selalu pendek dan to the point. Namun itu sudah lebih dari cukup. ''Aku akan bicara dulu dengan Abah. Nanti aku kabari Kakak.'' Butuh waktu sebulan, baru KH Syamsuri, ulama terpandang di Bekasi, mengizinkan Qodari datang melamar putri kesayangannya. ''Saya tunggu Jumat pagi, pukul enam,'' kata KH Syamsuri kepada Qodari, lewat telepon.

Dua tahun di Pakistan, Qodari kembali ke Tanah Air dengan menggondol gelar Master di bidang ekonomi syariah. Ia mengajar ekonomi syariah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Ia rajin menulis di media massa, khususnya mengenai ekonomi Islam. Ia pun menjadi da'i dan sudah mulai sering tampil di acara keislaman di televisi. Tepat pukul enam kurang 10 menit, ia tiba di rumah Sang Kiai. Ulama kharismatis itu sedang duduk di beranda sambil memegang tasbih dan melantunkan zikir.

''Assalaamu'alaikum.''


KH Syamsuri menoleh. ''Wa'alaikumsalaam.''


Qodari segera mencium tangan Sang Kiai. ''Saya Qodari.''


''Silakan duduk.'' Suaranya terdengar berwibawa. Sorot matanya tajam.


''Terima kasih, Pak Kiai.''


Yayah menyaksikan dari dalam rumah. Hatinya berdegup kencang melihat wajah yang selalu dirindukannya itu.


''Sayang, mana tehnya?''


''Siap, Abah.''


Yayah segera mengantarkan minuman teh manis. Wajahnya terasa bersemu merah ketika Qodari menatapnya. Tanpa sengaja ia menunduk.


''Duduk di sini, sayang,'' kata KH Syamsuri.


Dengan kikuk, Yayah duduk di samping ayahnya, berhadapan dengan Qodari. ''Silakan jelaskan, apa tujuan kamu datang ke rumah saya,'' suara KH Syamsuri terdengar sangat tegas.


''Terima kasih, Pak Kiai. Saya berniat melamar Yayah untuk menjadi istri saya.''


KH Syamsuri tidak langsung menjawab. Ia menatap pemuda di hadapannya, seperti ingin mencari kepastian di matanya. Tanpa sadar, Qodari mengangguk. Yayah merasa serba salah. Ia tidak berani mendonggakkan wajahnya.


''Tadi malam kamu shalat Tahajud?'' tanya KH Syamsuri tiba-tiba.


''Ya, Pak Kiai.''


''Tadi pagi shalat Shubuh di mana?''


''Saya shalat Shubuh berjamaah di Masjid An-Nur, Perumahan Permata Timur, Kalimalang.''


''Ya, sudah. Tiga bulan lagi kamu balik ke sini.''


Setelah itu, KH Syamsuri masuk ke dalam rumah. Qodari pun beranjak pulang. Yayah ingin protes kepada abahnya. Namun ia tidak berani. Abahnya sangat sayang kepadanya, apalagi semenjak ibunya meninggal enam tahun lalu. Namun ia sangat tegas memegang prinsip.


Tiga bulan kemudian, Qodari datang lagi. Namun hal yang sama berulang. Ia diminta datang lagi tiga bulan kemudian. Lagi-lagi, pertanyaannya sama, yakni di mana dia shalat Tahajud dan shalat Shubuh.


Hari ini, untuk yang kelima kalinya Qodari datang ke rumah KH Syamsuri. Berarti kurang lebih setahun lamanya ia melamar Yayah. Pertanyaan KH Syamsuri tetap tidak berubah.


''Saya Tahajud dilanjutkan Shubuh berjamaah di Islamic Centre Bekasi,'' sahut Qodari mantap.


''Selama setahun ini, berapa kali kamu tidak shalat Tahajud, dan berapa kali kamu tidak shalat fardhu berjamaah.''


''Alhamdulillah, tidak satu kali pun, Pak Kiai.''


Tiba-tiba KH Syamsuri bangkit dari duduknya, dan memeluk Qodari. ''Aku izinkan engkau menikahi putriku. Bimbinglah ia ke jalan yang diredhai Allah, dunia dan akhirat,'' bisiknya perlahan namun tegas di telinga Qodari.

Yayah menarik napas lega. Wajahnya tiba-tiba tersenyum sumringah.

KH Syamsuri melirik putrinya. ''Sayangku, calon suamimu berkhidmat di bidang dakwah dan pendidikan. Bagaimana ia bisa menjadi seorang dai yang istiqamah, kalau ia tidak menegakkan shalat Tahajud dan shalat fardhu berjamaah? Ketahuilah, Tahajud merupakan pakaian para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Sedangkan shalat fardhu jamaah merupakan ukuran kesungguhan iman seseorang. Kamu pasti pernah membaca hadits, cukuplah untuk mengetahui seseorang itu golongan munafik atau bukan dari shalat Shubuhnya, berjamaah atau tidak.''

Sumber : www.republika.com