"Gah, kapan-kapan ketemuan lah, mau ngobrol2 bisnis"
Pertanyaan tersebut diajukan oleh Ficky, sobat sekampus saya via YM beberapa hari yang lalu. Dia adalah seorang anak yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bapaknya wirausahawan bidang ekspor dan ibunya karyawati di sebuah BUMN.
Saya menimpali pertanyaan tersebut dengan rada ge-er, sekaligus malu juga. Karena seolah-olah pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang klien ke konsultan bisnis kelas kakap.
Plis dong, bisnis saya belum gede-gede amat. Belum berbadan hukum. Baru ngerintis, seriusan. Gaji aja ga jelas, keuntungan pun belum stabil. Makanya belum berani nikah-nikah :D
Yah inilah mungkin yang dikatakan guru kita Aa Gym
"Kalo orang muji kita, bukan berarti pantes, tapi artinya kekurangan-kekurangan kita masih ditutupi oleh Allah"
Akhirnya saya tawarkan untuk ketemuan di Food Court Riau Junction, ngobrol sambil makan siang. Bukan gagayaan dan foya-foya loh, karena kalo saya sih sekalian survey konsep tempat makan yang kira-kira bisa ditiru. Sight seeing lah...
Obrolan berlangsung cukup hangat, yang rencananya mau ngobrolin bisnis, ternyata justru lebih mengarah ke filosofi hidup. Ya, alhamdulillah karena Allah ngasih peluang dakwah di sebuah meja makan yang terletak di lantai tiga sebuah Mall.
Beginilah hikmah dari obrolan tersebut, dari sudut pandang saya
Secara latar belakang keluarga, saya dan Ficky dapat dikatakan hampir mirip. Kami bukan tipe anak yang saat makan pagi, bingung apakah malam masih bisa makan. Kami pun bukan tipe anak, yang selepas lulus SMA, bingung apakah langsung kerja membantu meringankan beban orangtua atau terusin kuliah saja dulu. Ringkasnya, ayah dan ibu kami -alhamdulillah- mampu secara ekonomi.
Saya memiliki hobi baca, dan diantara tema buku yang sering saya beli adalah buku-buku biografi kesuksesan seorang tokoh. Secara umum, isi buku tipe2 kayak gini adalah cerita saat si tokoh dalam kondisi zero menuju hero. Isi buku ini tentu mempengaruhi saya, karena kata-kata amat mudah merasuk ke dalam jiwa pembacanya.
Bagus sih bagus, masalahnya adalah saat kita lupa akan realitas.
Maksudnya adalah saat kita menyamakan kondisi kita -yang notabene ga mungkin 100% sama- dengan kondisi si tokoh tersebut. Maka setelah baca, pribadi saya pun terbentuk menjadi orang yang selalu senang MEMULAI DARI NOL, untuk kemudian berjalan ke arah ideal. Disinilah konyolnya.
Misalnya pengen ke luar kota, padahal ada mobil pribadi dan kita bisa nyetir, eh malahan nekad jalan kaki. Yang gini kan bukan gaya, tapi konyol!
Misal ada kasus, saya bisnis pake modal sendiri. Untuk MEMBUKTIKAN bahwa saya bisa. Saya ingin BUKTIKAN bahwa saya bisa mandiri, bisnis berkembang, TANPA BANTUAN DARI ORANGTUA.
Padahal, saya tahu betul, bahwa orangtua saya sudah memodali beberapa kerabat, kenalan, bahkan orang yang tidak dikenal. Ada yang bisnis goreng belut, warung makan, penitipan helm, dan sebagainya. Ada beberapa yang nipu, ada juga yang bisnisnya jalan walau ga terlalu maju.
Renungan penting:
Disinilah pentingnya menyadari peran, bahwa sehebat apapun, sedewasa apapun, dihadapan orangtua kita tetaplah seorang anak. Ya, sampai kapanpun peran kita adalah anak mereka. Terserah mau jadi presiden, ketua, aktivis, bisnismen, ga peduli! Mereka orangtua, kita anak. Titik!
Adakah orangtua yang ingin anaknya hidup sulit? Kalaupun ada, mungkin itu hanyalah makhluk yang berfisik manusia dengan jiwa lebih rendah dari hewan. Sudah fitrah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, jika orangtua menginginkan yang terbaik buat anaknya. Cinta mereka tulus, hanya memberi tak harap kembali.
Nah makanya kita harus rajin berdialog sama orangtua kita. Sampaikan cita-cita kita. Kalo saya, sejak SMA memang sudah mengopinikan di rumah bahwa saya pengen jadi pengusaha. Alhamdulillah, karena memang pengopinian tersebut dilakonin dari dulu, orangtua sudah paham dan tidak memaksa saya untuk ngelamar kerja sana sini.
Sekarang gara-gara dua pertanyaan diatas, saya punya perubahan paradigma yang drastis
Kalo dulu sempet anti minta bantuan orangtua, sekarang justru kalo punya rencana bisnis, saya cukup sering ngobrol dan bertanya "Kira-kira papah/mamah ada saran?" Kalo cuman dikasih ide dan masukan ya syukur, kalo dikasih tawaran modal ya Alhamdulillah banget ;P
Ga malu gitu ngebebanin ortu padahal udah lulus?
Kata siapa ngebebanin? Lah wong mereka senang, dan justru mereka merasa dianggap sebagai orangtua yg sebenarnya. Coba pikirkan, emang selama ini mereka (istilahnya) membanting tulang nyari nafkah buat siapa? Ya buat anak-anaknya lah. Masa buat orang lain (di luar zakat ya ini mah)
Yang namanya ngebebanin itu kalo merongrong terus dan menghambur-hamburkan apa yang orangtua berikan. Yang namanya ngebebanin itu, kalo umur kita udah nambah tapi orangtua masih belum percaya sama kelakuan kita. Belum "Al Amin" lah istilahnya.
Sekarang contoh, kita dititipin modal, lalu modal itu kita maksimalkan sehingga bisa lebih bermanfaat buat umat. Nah, andai si modal itu dari orangtua kita, bukannya kita harusnya bersyukur karena mereka ikut kecipratan dapet pahala? Apalagi kalo dengan modal itu, ternyata bisnis kita melibatkan adik kakak, jelas perasaan orangtua makin tenteram kan ngeliat anaknya rukun dan damai?
Yah gitulah kurang lebih isi obrolan saya dengan Ficky, perasaan dia pun awalnya mirip sama saya, dan bahkan mungkin mirip juga sama anda yang baca tulisan ini.
Perasaan yg nampak keren,
padahal konyol dan intinya mah ngedepanin gengsi, bahwa
Inget, kita muslim,
Dan perintah memuliakan orangtua itu
HANYA SETINGKAT dibawah perintah mentauhidkan Allah
Emang lu mau buktiin apa, sama siapa? Makan tuh gengsi!!!
NB :
1. Bayangkan jika kita jadi orangtua yang akhirnya kayak gini
2. Terimakasih kepada sobatku Pri atas pencerahan ini, sehingga dua pertanyaan renungan dari ente bisa saya sampaikan ulang ke Ficky
3. Kasus ini pun bisa nyambung ke yang lagi nyari kerja, jangan gengsi lah kalo orangtua ikut nyariin peluang2 buat kita. Lha wong mereka seneng kok ngasih yang terbaik untuk anaknya.
4. Tulisan ini dibuat menurut opini saya pribadi, dan kasuistis, jadi ga bisa digeneralisir. Mungkin anda amat berbeda sudut pandang dengan saya, ya mohon maaf aja kalo dengan tulisan ini anda jadi kecewa sama saya
Pertanyaan tersebut diajukan oleh Ficky, sobat sekampus saya via YM beberapa hari yang lalu. Dia adalah seorang anak yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bapaknya wirausahawan bidang ekspor dan ibunya karyawati di sebuah BUMN.
Saya menimpali pertanyaan tersebut dengan rada ge-er, sekaligus malu juga. Karena seolah-olah pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang klien ke konsultan bisnis kelas kakap.
Plis dong, bisnis saya belum gede-gede amat. Belum berbadan hukum. Baru ngerintis, seriusan. Gaji aja ga jelas, keuntungan pun belum stabil. Makanya belum berani nikah-nikah :D
Yah inilah mungkin yang dikatakan guru kita Aa Gym
"Kalo orang muji kita, bukan berarti pantes, tapi artinya kekurangan-kekurangan kita masih ditutupi oleh Allah"
Akhirnya saya tawarkan untuk ketemuan di Food Court Riau Junction, ngobrol sambil makan siang. Bukan gagayaan dan foya-foya loh, karena kalo saya sih sekalian survey konsep tempat makan yang kira-kira bisa ditiru. Sight seeing lah...
Obrolan berlangsung cukup hangat, yang rencananya mau ngobrolin bisnis, ternyata justru lebih mengarah ke filosofi hidup. Ya, alhamdulillah karena Allah ngasih peluang dakwah di sebuah meja makan yang terletak di lantai tiga sebuah Mall.
Beginilah hikmah dari obrolan tersebut, dari sudut pandang saya
Secara latar belakang keluarga, saya dan Ficky dapat dikatakan hampir mirip. Kami bukan tipe anak yang saat makan pagi, bingung apakah malam masih bisa makan. Kami pun bukan tipe anak, yang selepas lulus SMA, bingung apakah langsung kerja membantu meringankan beban orangtua atau terusin kuliah saja dulu. Ringkasnya, ayah dan ibu kami -alhamdulillah- mampu secara ekonomi.
Saya memiliki hobi baca, dan diantara tema buku yang sering saya beli adalah buku-buku biografi kesuksesan seorang tokoh. Secara umum, isi buku tipe2 kayak gini adalah cerita saat si tokoh dalam kondisi zero menuju hero. Isi buku ini tentu mempengaruhi saya, karena kata-kata amat mudah merasuk ke dalam jiwa pembacanya.
Bagus sih bagus, masalahnya adalah saat kita lupa akan realitas.
Maksudnyah...?
Maksudnya adalah saat kita menyamakan kondisi kita -yang notabene ga mungkin 100% sama- dengan kondisi si tokoh tersebut. Maka setelah baca, pribadi saya pun terbentuk menjadi orang yang selalu senang MEMULAI DARI NOL, untuk kemudian berjalan ke arah ideal. Disinilah konyolnya.
Misalnya pengen ke luar kota, padahal ada mobil pribadi dan kita bisa nyetir, eh malahan nekad jalan kaki. Yang gini kan bukan gaya, tapi konyol!
Misal ada kasus, saya bisnis pake modal sendiri. Untuk MEMBUKTIKAN bahwa saya bisa. Saya ingin BUKTIKAN bahwa saya bisa mandiri, bisnis berkembang, TANPA BANTUAN DARI ORANGTUA.
Padahal, saya tahu betul, bahwa orangtua saya sudah memodali beberapa kerabat, kenalan, bahkan orang yang tidak dikenal. Ada yang bisnis goreng belut, warung makan, penitipan helm, dan sebagainya. Ada beberapa yang nipu, ada juga yang bisnisnya jalan walau ga terlalu maju.
Renungan penting:
1.Emang kalo ente ntar sukses "MEMBUKTIKAN DIRI", orangtua ente dijamin bahagia?
2.Gimana kalo ente sibuk sendiri dan cape2 pengen "MEMBUKTIKAN DIRI" eh orangtua keburu meninggal?
2.Gimana kalo ente sibuk sendiri dan cape2 pengen "MEMBUKTIKAN DIRI" eh orangtua keburu meninggal?
Disinilah pentingnya menyadari peran, bahwa sehebat apapun, sedewasa apapun, dihadapan orangtua kita tetaplah seorang anak. Ya, sampai kapanpun peran kita adalah anak mereka. Terserah mau jadi presiden, ketua, aktivis, bisnismen, ga peduli! Mereka orangtua, kita anak. Titik!
Adakah orangtua yang ingin anaknya hidup sulit? Kalaupun ada, mungkin itu hanyalah makhluk yang berfisik manusia dengan jiwa lebih rendah dari hewan. Sudah fitrah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, jika orangtua menginginkan yang terbaik buat anaknya. Cinta mereka tulus, hanya memberi tak harap kembali.
Nah makanya kita harus rajin berdialog sama orangtua kita. Sampaikan cita-cita kita. Kalo saya, sejak SMA memang sudah mengopinikan di rumah bahwa saya pengen jadi pengusaha. Alhamdulillah, karena memang pengopinian tersebut dilakonin dari dulu, orangtua sudah paham dan tidak memaksa saya untuk ngelamar kerja sana sini.
Sekarang gara-gara dua pertanyaan diatas, saya punya perubahan paradigma yang drastis
Kalo dulu sempet anti minta bantuan orangtua, sekarang justru kalo punya rencana bisnis, saya cukup sering ngobrol dan bertanya "Kira-kira papah/mamah ada saran?" Kalo cuman dikasih ide dan masukan ya syukur, kalo dikasih tawaran modal ya Alhamdulillah banget ;P
Ga malu gitu ngebebanin ortu padahal udah lulus?
Kata siapa ngebebanin? Lah wong mereka senang, dan justru mereka merasa dianggap sebagai orangtua yg sebenarnya. Coba pikirkan, emang selama ini mereka (istilahnya) membanting tulang nyari nafkah buat siapa? Ya buat anak-anaknya lah. Masa buat orang lain (di luar zakat ya ini mah)
Yang namanya ngebebanin itu kalo merongrong terus dan menghambur-hamburkan apa yang orangtua berikan. Yang namanya ngebebanin itu, kalo umur kita udah nambah tapi orangtua masih belum percaya sama kelakuan kita. Belum "Al Amin" lah istilahnya.
Sekarang contoh, kita dititipin modal, lalu modal itu kita maksimalkan sehingga bisa lebih bermanfaat buat umat. Nah, andai si modal itu dari orangtua kita, bukannya kita harusnya bersyukur karena mereka ikut kecipratan dapet pahala? Apalagi kalo dengan modal itu, ternyata bisnis kita melibatkan adik kakak, jelas perasaan orangtua makin tenteram kan ngeliat anaknya rukun dan damai?
Yah gitulah kurang lebih isi obrolan saya dengan Ficky, perasaan dia pun awalnya mirip sama saya, dan bahkan mungkin mirip juga sama anda yang baca tulisan ini.
Perasaan yg nampak keren,
padahal konyol dan intinya mah ngedepanin gengsi, bahwa
"GUE PENGEN NGEBUKTIIN !!!" (BAHWA TANPA ORTU GUE BISA)
Ehm...mandiri itu bukan berarti mandiri ala dunia barat, kawan!
Ehm...mandiri itu bukan berarti mandiri ala dunia barat, kawan!
Inget, kita muslim,
Dan perintah memuliakan orangtua itu
HANYA SETINGKAT dibawah perintah mentauhidkan Allah
Emang lu mau buktiin apa, sama siapa? Makan tuh gengsi!!!
NB :
1. Bayangkan jika kita jadi orangtua yang akhirnya kayak gini
2. Terimakasih kepada sobatku Pri atas pencerahan ini, sehingga dua pertanyaan renungan dari ente bisa saya sampaikan ulang ke Ficky
3. Kasus ini pun bisa nyambung ke yang lagi nyari kerja, jangan gengsi lah kalo orangtua ikut nyariin peluang2 buat kita. Lha wong mereka seneng kok ngasih yang terbaik untuk anaknya.
4. Tulisan ini dibuat menurut opini saya pribadi, dan kasuistis, jadi ga bisa digeneralisir. Mungkin anda amat berbeda sudut pandang dengan saya, ya mohon maaf aja kalo dengan tulisan ini anda jadi kecewa sama saya
7 komentar:
Apapun langkah yang Anugerah ambil..selagi itu menjadikan Anugerah lebih dekat pada Allah Ta'ala dan mendatangkan ketenangan di hati..insyaAllah saya dukung
Duh Anugerah,
Anugerah Terindah kali...
Syukron ya bos!
Indonesia masih kekurangan pengusaha, salut.
Itu dia pointnya, yang saya dapatkan dari obrolan saya dengan orang tua, dengan uwa-uwa saya sewaktu lebaran, justru kalau kita nggak minta teh mereka ngerasa nggak dibutuhin. Da kalau nggak butuh uang mah, saya jamin banyak lah mahasiswa yang susah silaturahim ka ortu (pengalaman pribadi soalna...hehe)
Lha, lagi ada uang aja, mereka mah suka nanyain..."masih ada uang nggak?" atau malah tiba-tiba "tadi udah dikirim ke rekening segini..." padahal nggak minta. GR-GRan kita aja pengen nggak ngerepotin ortu, padahal mah mereka nggak ada masalah dengan direpotin gitu. Tapi ada catatannya...itu berlaku dikalangan keluarga yang secara ekonomi mapan :D
Tapi saya mah masih rada kesulitan menyesuaikan harapan ortu yang pengen saya sukses dengan sukses persepsi saya. Beda paradigma, beda penyikapan juga. Lagi nyari win-win solution nih :D
@ pak priyatna : wah alhamdulillah pak, justru saya seneng banget ada orang hebat kayak bapak mau2nya mampir dan ngasi semangat ke kami yg muda dan baru merintis ini :)
@ kang donny : saya juga da sebenernya ga jauh beda kondisinya sama akang. Orangtua teh pengennya yg pasti-pasti
Kalo kita milih kerja mah, insya Allah mereka tenang2 aja. Tapi masalahnya kalo kita milih bisnis, kan rada "aneh" tuh pilihannya.
Tapi tadi malem saya sempet ngobrol sama beliau2, intinyamah kalaopun kita milih bisnis, ya cobalah jelaskan sejelas-jelasnya kita teh impiannya bisnis apa, langkah2 globalnya gimana.
Dari sini, beliau2 bisa ngukur. "Kira2 anak saya perlu dibantu dimananya ya... "
wallahu'alam
Hehehe emang bener seringkali idealis itu sering menyesatkan dan membuat sempit pandangan kita. Bener kang, bertindaklah realistis dengan memberikan perhatian pada apa yg ada disekitar kita saat ini.
kita bisnis nelantarin kuliah. orang tua berharap lulus kuliah dg ip gede. kita idealis. lalu apa jadinya kalau ternyata orang tua keburu meninggalkan kita.
dan apa pula jadinya kalo kita yg duluan meninggal...
Posting Komentar