Minggu, 06 Januari 2008

PENGASUHKU MENINGGAL DUNIA

Namanya Enin, seseorang yang mengasuh saya saat bayi dulu...

Selain mamah, beliaulah yang cukup berjasa dalam masa-masa awal kehidupan saya dahulu. Menyuapi, memandikan, dan mengganti pakaian saya sewaktu bayi adalah rutinitas yang beliau lakukan saat mamah harus bekerja di kantor di awal-awal karirnya.

Selain saya, Puput adik saya pun mengalami sentuhan yang serupa. Dan saya bersyukur, karena Enin bukanlah tipe pengasuh yang berakhlaq kurang baik seperti profil pengasuh yang kita lihat di sinetron2.

Beliau benar-benar tipe wanita yang "ndeso" dalam artian polos, sederhana, dan tulus dalam berbuat sesuatu.

Saya ingat betul kesabarannya, saat saya iri karena merasa beliau terlalu sayang sama Puput. Tanpa pikir panjang, saya yang masih balita, mendorongnya dari belakang saat Puput yang masih bayi merah sedang dimandikan.

Jelas Puput si bayi merah tersedak air hampir tenggelam, dan seingat saya saat itu Enin sama sekali tidak marah.

Namun, peristiwa itu tentu saja membuat Allah marah dan ingin memberi saya pelajaran.

Karena, berita itu pun akhirnya sampai di orangtua saya. Dan, sebuah tamparan dari papah mendarat di pipi saya.

Hidung saya pun dengan sukses mengalirkan darah. Saya bersembunyi di kamar, sambil menangis dengan keras. Menahan sakit di pipi dan terutama, di hati.

Waktu terus berjalan, dan pengasuh demi pengasuh bergantian bekerja di rumah kami.

Hingga Sabtu lalu, saat Papah mengatakan "Gah, tolong kamu urus Enin ke rumah sakit"

Ternyata Enin mengidap liver yang cukup parah. Dan, Papahlah yang selama ini tanpa saya ketahui mengurus subsidi keuangan untuk hidupnya dan membantu uang pengobatannya.

Memang, kini papahku sudah banyak berubah. Kini beliau menurut saya adalah orang yang jiwa sosialnya paling tinggi di rumah kami.

Awalnya saya ragu menjawab, walau akhirnya dengan cepat meng-iya-kan. Karena memori dengan Enin sebagai pengasuhlah yang paling menempel di benak saya. Maka saya berniat membalas kebaikan beliau dulu, dengan cara memenuhi permintaan Papah tersebut.

Saya pun berangkat bersama Pak Supir, untuk ke rumah Enin pertama kalinya.

Kami tiba di sebuah kampung di pinggiran Kota Bandung. Jalan berbatu, membuat mobil harus dikendarai secara hati-hati. Setelah mendapatkan parkir di sebuah lapangan volley, kami pun turun dari mobil.

Ternyata untuk ke rumah beliau, kami harus mendaki sebuah lembah berbatu besar. Karena pemukiman warga ternyata berkumpul diatas lembah tersebut. Dan untuk pertama kalinya saya melihat rumah Enin.

Bilik kayu, kumuh, dengan ukuran sedikit lebih besar dari kamarku.

Beliau tinggal sendiri. Walau anaknya yang laki-laki tinggal bersebelahan karena sudah memiliki anak istri.

Sebenarnya, Enin memiliki anak perempuan. Namun setahu saya, sang anak perempuan yang satu ini lebih memprioritaskan diri pada suaminya dengan tinggal di luar kota.

Saya pun bertemu dengan beliau. Dan cukup miris melihatnya. Badan kurus, kulit sangat kering dan keriput. Ditambah lagi, mata yang warnanya semakin menguning. Tanda penyakit liver akut.

Kondisi pendengarannya pun kini sudah makin parah. Kami harus berteriak cukup keras dekat telinganya bila ingin berkomunikasi dengan beliau.

Singkat cerita, hari itu saya manfaatkan betul untuk membalas budi.

Saya dibantu pak supir dan menantunya, memapah beliau masuk ke rumah sakit. Saya belajar untuk tidak gengsian, karena memapah seorang nenek yang "ndeso" ke dalam ruangan periksa dokter.

Saya yang memiliki karakter tidak sabaran, memaksa diri untuk rela menunggu antrian dokter di rumah sakit kabupaten.

Lamanya penantian untuk mengambil obat di apotek pun seolah biasa saja bagi saya yang biasa tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu.

Disana saya pun belajar bagaimana memanfaatkan fasilitas askes bagi pasien yang tergolong tidak mampu. Ternyata prosesnya sederhana. Dan angka yang ditanggung askes pun dapat dikatakan lumayan untuk meringankan biaya pembelian obat.

Singkat cerita, proses penjemputan, kontrol dokter, pembelian obat, dan pengantaran pulang ke rumah Enin berjalan dengan lancar. Alhamdulillah, hari itu perasaan saya tiba2 saja lumayan plong.

Hingga hari ini, jam 9 pagi, saat saya sedang berolahraga di Batununggal.

Sebuah SMS masuk dari papah, dan isinya diawali dengan kalimat istirja'.

Ternyata, tadi pagi jam 7 Enin meninggal

Kami sekeluarga memutuskan untuk bertazkiyah ke lokasi. Saya menjadi supir, karena sudah pernah kesana sebelumnya.

Rombongan keluarga kami diterima oleh menantu Enin. Dan seperti umumnya obrolan dalam suasana tazkiyah. Seluruh topik mengarah kepada apa yang terjadi pada Enin sehari sebelum meninggal.

Dan miris, pas saya mendengar solusi menantunya saat Enin mulai sesak nafas di pagi hari.

Enin diminumkan air sakti dari "orang yang bisa"

Sedih sekali rasanya, saat seseorang yang kita anggap memiliki arti dalam kehidupan kita ternyata meninggal dalam kondisi yang kurang baik (menurut saya).

Beliau meninggal tanpa anak perempuan disisinya. Beliau meninggal dengan iringan shalat jenazah yang sepi, karena beliau bukanlah seorang tokoh masyarakat. Dan, beliau meninggal setelah meminum air yang secara aqidah mengarah pada kemusyrikan.

Miris, sungguh miris.

Akhirnya kami sekeluarga meminta agar bisa ikut menyolatkan Enin di masjid terdekat.

Dalam hati saya berharap agar Allah menerima amal beliau, khususnya saat menjadi pengasuh kami.

Saya juga berharap Allah mengampuni dosa beliau, khususnya dalam amal perbuatan yang ilmunya belum sempat tersampaikan pada beliau. Amiin...

Pagi ini Enin meninggal, dan walau airmata tak mengalir saya tetap menggumamkan,

Inna lillahi wa inna ilahihi raji'un
Semuanya milik Allah dan akan dikembalikan lagi ke Allah

Saya dan Anda pun, akan kembali pada Allah juga kan akhirnya?
Moga husnul khatimah-lah yang kita raih, amiin...

2 komentar:

Donny mengatakan...

ikut berduka gah, tapi kalau baca ceritanya, Enin minum air itu dalam keadaan tidak sadar/tidak tahu? kalau tidak tahu mudah-mudahan dapat pengampunan karena ketidaktahuannya. Sedih juga bacanya...

anugerah perdana mengatakan...

sepengetahuan saya, ilmu belum nyampe kayaknya kang