Senin, 07 Januari 2008

PAPAHKU TELADANKU

Kalau mamah memiliki karakter tekun, maka karakter khas yang ada pada diri papah adalah jiwa sosialnya.

Dari beliau pula saya belajar bahwa keteladanan jauh lebih mengena, dibandingkan semburan nasihat.

Dulu, papah adalah seseorang yang sangat reaktif, mudah naik darah. Beliau pernah menampar saya yang masih balita imut2, menyeburkan tubuh saya ke bak mandi karena mogok sekolah saat TK, melemparkan piring saat berselisih dengan mamah, mengerem mobil hingga berdecit saat menyetir sambil dinasihati mamah, dan sebagainya.

Tapi itu dulu, beliau kini sudah banyak berubah.

Saya ingat dulu ketika awal-awal mengikuti mentoring di masjid dekat rumah. Dan, dari mentoring tersebut saya pun menjadi tertarik mengikuti kajian umum yang biasanya dihadiri bapak2 setiap jumat bada maghrib.

Mungkin, karena merasa malu pada anaknya yang baik hati dan tidak sombong ini (amiiin) Papah pun mulai mencoba2 untuk hadir di kajian tersebut.

Alhamdulillah, karena ternyata materi dan pematerinya mampu menggerakkan hati beliau. Sikap dan perilaku beliau makin tidak reaktif seperti dahulu lagi.

Selain pasca ibadah haji, mungkin masa2 ikut pengajian ini adalah titik baliknya untuk semakin dekat pada Agama.

Kembali ke karakternya yang berjiwa sosial.

Saya ingat betul saat beliau mengajak saya untuk mengantar dan membayarkan biaya Pak Karmawan untuk terapi ke tukang urut. Pak Karmawan adalah jamaah masjid senior yang tinggal di dekat masjid.

Saya heran, kok mau2nya papah mengantar beliau jauh2 ke daerah Cicaheum. Padahal, kenal dekat saja tidak.

Tapi begitulah, mungkin hati papahku memang lembut, sehingga tidak banyak pertimbangan dalam menolong sesama.

Papahku pun jarang qurban di masjid rumah. Karena beliau tahu, bahwa takmir masjid yang biasanya pulang ke desa, tentu lebih membutuhkan dibandingkan jamaah masjid dan warga di kompleks perumahan kami.

Maka, biasanya papahku pun menitipkan uangnya untuk dibelikan hewan qurban di desa takmir mesjid tersebut.

Memang saya akui, beliau memiliki kemampuan untuk melihat kebutuhan seseorang, yang luput dari pandangan orang lain.

Saya juga pernah menyaksikan sendiri, sebuah momen yang membuat saya bangga memiliki orangtua seperti beliau. Yaitu, saat beliau mengamati bahwa seorang hansip bernama Pak Ajat ternyata jarang sholat.

Maka beliau pun meminta mamah untuk membeli seperangkat alat sholat, tentunya bukan untuk melamar anak gadis Pak Ajat untuk jadi calon istri saya.

Ternyata sarung dan baju koko tersebut untuk dihadiahkan kepada Pak Ajat.

Saya melihat dengan mata kepala sendiri saat selepas sholat, papah memanggil Pak Ajat dan hanya berkata ringan sambil memberikan kadonya "Pak Ajat, dimulai ya?"

Dan Alhamdulillah, Pak Ajat pun seketika berubah menjadi jama'ah setia shalat shubuh di masjid kami.

Cerita diatas belum selesai, karena masih ada satu cerita lagi.

Ramadhan kemarin, aktivitas saya lumayan padat, dan saat saya baru pulang ternyata ada seseorang yang menanti di depan rumah kami membawa secarik kertas.

"Dek, saya disuruh bapak kesini, menukarkan kupon ini"

"Oh, sebentar ya Pak" Saya pun kedalam rumah sambil agak bingung

Ternyata, di belakang sudah ada tersimpan beberapa kantung plastik berisi sembako dengan masing2 diberi nomer dan nama penerima.

Ramadhan itu, Papah dan mamah tanpa sepengetahuan saya telah menjadikan rumah kami sebagai tempat bakti sosial kecil2an.

Siapa sih anak yang tidak bangga punya orangtua seperti beliau.

Kini Papah sudah banyak berubah, dan saya paham bahwa semuanya tidak dibangun dalam satu hari saja. Keteladanan-lah yang memiliki peran besar dalam hal tersebut.

Saya berusaha menjadi anak yang shalih

Dan Papah pun berusaha menjadi orangtua yang shalih

Saya teringat saat berkenalan dengan seorang mahasiswa asal Jakarta yang berhasil membawa SELURUH anggota keluarganya untuk menginap, ngaji, dan bertahajjud di masjid Daarut Tauhid.

Saya berkomentar

"Enak ya, punya keluarga yang sama2 kompak mau ngaji dan tahajjud bareng"

Sambil tersenyum dia menyanggah

"Kata siapa Gah? Dulu keluarga saya seperti keluarga pada umumnya, tidak taat2 amat.

Namun pelan2, saya setel radio berisi ceramah Agama di rumah.

Pelan2 saya bangunkan mereka di malam hari untuk bertahajjud.

Walau terbatas, saya belajar untuk mengimami

Saya belajar untuk memimpin mereka berdoa.

Hingga akhirnya, alhamdulillah, seperti saat ini"

Yah memang, banyak orang yang ingin merubah dunia, tapi sedikit orang yang mau merubah dirinya.

Banyak orang yang mengeluhkan kondisi keluarganya tapi dia lupa, bahwa siapa tahu keluarganyalah yang mengeluhkan kondisi dirinya.

4 komentar:

Esa mengatakan...

assalamu'alaykum wr wb
Kang, asa kesindiran sama kata2 akang yg
"Yah memang, banyak orang yang ingin merubah dunia, tapi sedikit orang yang mau merubah dirinya. Banyak orang yang mengeluhkan kondisi keluarganya tapi dia lupa, bahwa siapa tahu keluarganyalah yang mengeluhkan kondisi dirinya."

Donny mengatakan...

huhu, jero gah...jero...
Saya ge tadinya mau cerita soal bapak , tapi belum mengalir aja tulisannya. Kudu rada hati2 jga soalnya...

Indra Fathiana mengatakan...

"father...how are you today?"
*keingetan sm papaku.hiks..*

aku pgn banget pesenin hal ini ke semua orang di seluruh dunia:
"jangan tunggu salah satu atau keduanya tiada, baru kita (mau) membahagiakan mereka..."

anugerah perdana mengatakan...

@ teh esa : oh kesindiran ya, sama dong. Soalnya saya bikin tulisan ini juga pas lagi bageur2nya sa :) sekarang mah, begitulah...

@ kang don : intinya mah jujur kang, terus fokuskan pada kelebihan beliau. Karena kalo kekurangan mah pasti ada, tapi buat apa disebar2, malah dosa

@ mba indra : Dirimu orang yg tegar mbak, saya sering salut kok. Btw, kalo mau berpesan sama orang di seluruh dunia mah mending pake bhs inggris aja :D just kidding!