Kamis, 11 September 2008

RAMADHAN #10


Di mata orang biasa, sedekah hanya "layak" dikeluarkan jika isi dompet sedang tebal atau sebatas uang recehan. Kalau otak lagi mumet mikirin utang, "Jangankan sedekah, makan aja susah," protes mereka seirama. Makanya, aneh bin ajaib, ketika Yusuf Mansur - ustad muda yang akhir-akhir ini rajin muncul di layar gelas - menganjurkan lebih banyak sedekah justru di saat hidup sedang susah.

 
Yusuf Mansur duduk bersila di kerumunan ratusan karyawan sebuah perusahaan. "Ustad, kali ini saya ingin tema tausiyahnya tidak tentang sedekah," pinta seorang panitia, yang juga salah satu petinggi perusahaan. Rupanya, panitia itu hendak berempati kepada karyawannya. Seperti negeri ini yang sering dirundung duka, perusahaannya juga sedang "KD" (kurang darah). Menurut si panitia, khalayak yang hadir sebagian besar buruh, seharusnya diberi sedekah, bukan dianjurkan bersedekah.

Yusuf Mansur - pemilik pondok pesantren Daarul Qur'an, Ciledug, Tangerang - keruan berang. Sedekah kok diidentikkan dengan status sosial ekonomi. Orang miskin yang ingin kaya juga harus sedekah. "Guru ngaji saya bilang, kalau habis gajian bersedekah, atau orang yang bisnisnya gol bersedekah, itu sih biasa. Tapi sedekah sebelum gajian, saat punya sedikit duit, atau sebelum memulai usaha, itu baru istimewa," sang ustad meradang.

Ia menambahkan, materi yang bisa disedekahkan tidak harus berwujud uang. "Bisa pakaian, makanan. Atau kalau di rumah ada teve berukuran 29 inci, 'kan masih bisa 'dikecilin' jadi 14 inci?"sambung pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1976 ini. Jadi, tidak ada yang tidak dapat disedekahkan oleh orang termiskin di dunia sekalipun, sepanjang niat bersedekah itu ada.


Belajar dari semut

Mengikuti jejak K.H. Zainuddin MZ yang tenar sebagai da'i sejuta umat, Aa Gym da'i "sejuta hati", atau ustad Arifin Ilham yang identik dengan majelis zikir, nama Yusuf Mansur belakangan beken sebagai da'i penganjur sedekah. Dalam setiap tausiyahnya, penulis 30-an buku ini selalu mendengungkan kekuatan sedekah.

Tema sedekah - dihubungkan dengan pemberdayaan ekonomi umat - tampak mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Penceramah jebolan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat ("Ane enggak punya ijazah, brenti waktu nyusun skripsi," katanya buka kartu dalam logat Betawi kental) ini pun laris bak kacang goreng. "Bulan ini (Agustus 2006 - Red.), enggak ada hari tanpa tausiyah. Satu hari bisa lima sampai enam tempat," aku seorang stafnya.

Yusuf kian identik dengan sedekah, setelah bareng rumah produksi Sinemart menggagas sinetron Maha Kasih. Sinetron yang ditayangkan sebuah stasiun teve swasta itu diangkat berdasarkan kisah nyata dan sarat pesan hikmah sedekah. Yusuf juga pernah menjadi Duta Dompet Dhuafa dan Duta Bank Muamalat. Tahun 1999 - 2000, Yusuf bahkan aktif di Majelis Syifa, yang mempraktikkan terapi sedekah untuk penyembuhan penyakit fisik.

Ceramah Yusuf terasa hidup, karena bapak dari dua orang anak ini selalu menyelipkan kisah nyata. Sekali waktu, ia berkisah tentang seorang buruh yang bersedekah Rp 5.000,- di sebuah acara tausiyah. Eh, begitu sampai di rumah, ada orang kaya numpang buang hajat di kamar mandinya. Setelah berhajat, musafir tadi menyerahkan Rp 50 ribu buat "jajan" anak si empunya rumah. "Pak ustad, sedekah saya dibalas 10 kali lipat hari itu juga," tutur sang buruh berkaca-kaca.

Yusuf juga fasih bertutur tentang kesaksian seorang office boy yang menyetor seluruh gaji pertamanya untuk ibunda tercinta. Esoknya, ia diganjar balasan setimpal, tak lebih tak kurang, Rp 600.000,-. Duit pengganti gaji itu didapatnya sebagai komisi jerih payah membantu menjualkan motor seorang teman. Setelah itu, selalu saja ada rezeki yang masuk ke kantung si office boy. Total jenderal di akhir bulan istimewa itu, ia "gajian" sampai Rp 5 juta - Rp 6 juta.

Kesaksian orang-orang yang pernah terbantu oleh sedekah itu ikut membentuk keyakinan Yusuf, bahwa kekuatan sedekah tidak main-main. Apalagi ia juga punya setori sendiri. Akhir 1990-an, selama beberapa bulan, Yusuf sempat merasakan pahitnya tinggal di rumah tahanan. Ia terbelit utang. "Pinjaman usaha yang mulanya sedikit, karena kebodohan saya, berbunga dan membengkak jadi lebih dari satu miliar. Orang Betawi bilang, bukan lagi gali lubang tutup lubang, tapi gali lubang tutup empang," ujar pemilik blog beradres wisatahati.multiply.com ini menerawang.

Saat dibekap kesulitan itulah, ia mengalami dua pengalaman luar biasa. "Di tahanan suatu kali saya merasa sangat lapar. Enggak ada makanan. Yang ada cuma sedikit sisa roti, saya simpan di bawah bantal. Tapi begitu roti mau saya makan, tampak semut berbaris di tembok sampai lantai. Saya merasakan itu sebagai pertanda alam, lalu teringat hadis, yang artinya kira-kira, Allah akan membantu hambanya, selama hamba itu mau membantu yang lain."

Tanpa pikir panjang, Yusuf menyerahkan sejumput roti itu pada gerombolan semut. Entah mengapa, ia begitu ingin bersedekah saat itu. "Lima menit kemudian, seorang sipir datang bertanya, 'Suf, udah makan apa belum?' Setengah percaya, saya menggelengkan kepala. Alhamdulillah, dalam hati saya tak putus-putusnya mengucap syukur," imbuh Yusuf.


Cuma laku lima

Pengalaman kedua, ketika baru keluar tahanan, sekitar tahun 1999. Untuk menyambung hidup, Yusuf terpaksa harus jualan es di terminal Kalideres, Jakarta Barat. Dengan modal Rp 20.000,-, ia mencoba membangun kehidupan baru. Setelah dipotong ongkos, sisa duit Rp 14.000,- digunakan untuk membuat 70 kantung es, yang dijajakan Rp 500,- per buah. "Bukan main, hari pertama, cuma laku lima," Yusuf tertawa lirih.

Ia betul-betul harus menekan ego dan kesombongan. Bayangkan, dari pengusaha yang memodali orang puluhan juta rupiah, "turun pangkat" jadi penjual es lima ratusan perak. "Saya menganggap semua itu sebagai penebusan dosa. Saya percaya, kesulitan hidup merupakan tebusan dosa yang pernah kita perbuat. Menikmati penderitaan itu ada ilmu dan seninya. Banyak manusia yang diberi kesusahan, karena ketika diberi kesenangan, enggak ingat sama Tuhan," pria berkacamata ini menambahkan.

Pelan tapi pasti, dengan "ilmu sedekah" yang didapatnya, hidup Yusuf bertambah baik. Sebelumnya, ia mengaku belajar ilmu sedekah sama seperti belajar ilmu-ilmu lain, sepintas saja. Tapi di masa sulit itu, ia belajar hal baru, yakni bersedekah jangan menunggu tabungan cukup, bisnis gol, atau gaji bersisa. Sedekah seperti lazimnya kecil, tipis, sehingga tidak "bertenaga".

"Pengalaman saya tadi, buat orang lain mungkin biasa. Tapi buat saya, luar biasa, karena saya telah membuktikan sendiri kekuatan sedekah."

Berhasil pada diri sendiri, dengan keyakinan penuh, Yusuf mulai berdakwah tentang sedekah. Dia bertekad menyebarluaskan the power of sedekah untuk memberdayakan ekonomi umat. Awalnya, tentu saja enggak laku. Tapi makin lama, makin banyak orang melihat, Yusuf ternyata tak hanya pandai berteori. Buktinya, ia berhasil membangun sekolah tinggi ilmu komputer Cipta Karya Informatika di bilangan Jakarta Timur, yang sudah beroperasi empat tahun.

Undangan tausiyah pun menumpuk. Kali ini tak hanya dari individu dan masyarakat. Yusuf pun mulai dilirik korporat untuk memberi motivasi, pencerahan, mengadakan spiritual gathering, dan financial healing. Dialah yang memperkenalkan sedekah secara korporat. Misalnya, dalam setahun sebuah perusahaan menghasilkan laba bersih sekian miliar. Nah, dari jumlah sekian miliar itu 10%-nya bisa disedekahkan.

"Sedekah yang dilakukan 'di muka', menurut Yusuf, akan menjadi bill of insurance, tagihan yang sudah diasuransikan duluan, untuk menjamin berhasilnya tujuan perusahaan. Di sini saya banyak ditentang, dibilang terlalu pamrih pada Tuhan. Tapi masa bodoh, yang enggak yakin atau enggak mau ikut enggak apa-apa. Saya juga enggak ambil sedekahnya kok. Korporat itu bebas sedekah ke mana saja. Yang penting bersedekah," cetus da'i yang tausiahnya sudah merambah sampai ke Singapura ini.

Yusuf berharap, jika kebiasaan bersedekah kian marak di kalangan masyarakat dan korporat, bangsa ini akan ikut diuntungkan. Karena kepedulian pada nasib sesama jadi lebih besar. "Dalam peningkatan ekonomi, yang penting aplikasinya. Financial freedom tidak bisa didapat tanpa spiritual freedom, begitu juga sebaliknya," tandas ustad yang mengaku tak pernah menyediakan waktu khusus untuk menjaga kebugaran ini.


Buang jauh logika

Untuk mereka yang ingin meningkatkan taraf kehidupan (secara materi), bilang Yusuf, obat yang paling manjur yaitu bersedekah materi. "Kalau kita bersedekah bukan materi (dengan doa, membantu dengan tenaga, dan sejenisnya), dapatnya juga non-materi, semisal kesehatan, kegembiraan. Tapi itu 'kan tidak langsung mengubah eksternal seseorang, seperti pendapatan," imbuh sang ustad.

Namun, ia cepat menambahkan, hak Yang Di Atas untuk mengganjar sedekah seseorang dengan apa pun. Karena pada dasarnya, selain mendatangkan materi, sedekah juga memberi jalan menuju sukses (lewat kemudahan membangun dan mengembangkan usaha), mendatangkan kesehatan, menolak bala, mendatangkan ampunan dan pertolongan-Nya.

Sebenarnya, aku Yusuf, manusia tidak boleh terus-menerus bermain sedekah di tataran keinginan atau masalah. Kelak harus jadi hamba-Nya yang lebih cerdas, naik pangkat ke tahap cinta Allah, atau mahabbah. Tapi sebagai pintu pertama, mengharap sesuatu dari sedekah enggak masalah. "Toh tidak diharamkan, asal jangan berhenti sampai di situ. Begitu keinginan terjawab, lalu lupa daratan," jelas pria yang menargetkan berdirinya Sekolah Islam Internasional gratis tahun 2008 nanti.

Terakhir dan paling penting, Yusuf mewanti-wanti, "Sedekah itu jangan dipikirin, karena enggak akan nyambung dengan otak. Secara logika, makin banyak sedekah 'kan makin ngurangin harta. Jadi, buang jauh logika ketika ngomongin sedekah!" Yusuf mengilustrasikan, seorang karyawan yang "pakai otak", sudah dapat ditebak berapa total gajinya saat pensiun. Tapi kalau dia rajin bersedekah sampai mentok (baca boks "Matematika Sampai Mentok"), bisa saja dia pensiun sebagai direktur!

Makanya, jangan takut bersedekah sebelum gajian

Artikel Terkait :

Tidak ada komentar: